Bulan Ramadan, bulan suci yang dinanti oleh umat Islam di seluruh dunia, adalah waktu di mana umat Islam berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui ibadah puasa. Namun, bagi sebagian perempuan yang sedang hamil atau menyusui, menjalankan puasa mungkin bukanlah pilihan yang mudah. Pertanyaannya pun muncul, apakah perempuan yang tidak bisa berpuasa karena kondisi menyusui wajib mengqadha puasa tersebut di kemudian hari?
Dalam Islam, wanita hamil dan menyusui diberikan kelonggaran hukum dalam menjalankan ibadah puasa. Mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa jika dikhawatirkan berpuasa akan berdampak buruk pada kesehatan mereka sendiri atau bayi yang sedang dikandung atau disusui. Namun demikian, mereka tetap dianjurkan untuk berusaha berpuasa sebisa mungkin, meskipun hanya beberapa hari selama bulan Ramadan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ (رواه الترمذي وأبو داود).
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memberi keringanan untuk tidak berpuasa bagi musafir dan keringanan mengerjakan separuh sholat (mengqoshor) sholat, juga memberi keringan untuk tidak berpuasa bagi orang orang yang hamil atau orang yang sedang menyusui”. (HR: Turmudzi dan Abu Dawud).
Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kesehatan dan kesejahteraan fisik memiliki prioritas yang tinggi. Seorang wanita hamil atau menyusui dianggap memiliki uzur yang membuatnya mirip dengan orang sakit atau musafir, sehingga mereka diberikan kelonggaran dalam menjalankan ibadah puasa.
Namun, hal yang perlu dipahami adalah bahwa hari-hari puasa yang ditinggalkan oleh wanita hamil atau menyusui bukanlah hal yang diabaikan begitu saja. Mereka masih memiliki kewajiban untuk mengqadha puasa tersebut di waktu yang lain, ketika kondisi mereka sudah memungkinkan untuk melakukannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Quran:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah: 185)
Dari ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa karena alasan uzur seperti sakit atau menyusui, wajib mengqadha puasa tersebut di hari-hari lain sebagai bentuk pemenuhan kewajiban mereka sebagai seorang muslim.
Dengan demikian, meskipun ada kelonggaran bagi wanita hamil dan menyusui dalam menjalankan ibadah puasa, mereka tetap memiliki tanggung jawab untuk mengqadha puasa yang ditinggalkan tersebut di waktu yang lebih tepat. Hal ini juga merupakan bagian dari memuliakan bulan Ramadan, dengan menjaga kesehatan dan kesejahteraan diri serta bayi yang sedang dikandung atau disusui. Semoga kita semua dapat menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, serta mendapatkan berkah dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aamiin.





