I’tikaf, sebuah ibadah yang dilakukan dengan membatasi diri di dalam masjid, memiliki kedudukan istimewa dalam agama Islam, khususnya di bulan suci Ramadhan. Allah Ta’ala telah menegaskan pentingnya i’tikaf dengan menyertakan dalil dalam syariat bersamaan dengan shaum (puasa), yang menunjukkan hubungan erat antara keduanya.
Shaum, dengan mencegah seseorang dari makan, minum, dan hubungan suami istri di siang hari, telah menjadi sarana untuk meningkatkan ketaqwaan dan kesadaran spiritual. Namun, i’tikaf membawa dimensi yang lebih dalam. Bagi orang yang berpuasa, meskipun boleh berhubungan suami istri setelah berbuka pada malam hari, bagi mereka yang beri’tikaf, hubungan tersebut tetap dilarang. Ini menandakan bahwa i’tikaf bukan hanya sekadar menahan diri dari kebutuhan fisik, tetapi juga menjaga fokus dan konsentrasi sepenuhnya pada Allah.
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah mengungkapkan bahwa i’tikaf adalah sarana untuk menjaga keistiqamahan hati dan konsentrasi yang kuat kepada Allah Ta’ala. Ini menunjukkan bahwa i’tikaf adalah tentang menjaga hubungan batiniah yang mendalam dengan Sang Pencipta. Sementara Ibnu Rajab Al-Hambaliy rahimahullah menjelaskan bahwa i’tikaf mengajarkan pemutusan hubungan dari dunia untuk lebih dekat dengan Allah semata. Semakin dalam pemahaman seseorang terhadap Allah, semakin besar kecintaan dan kesukaannya kepada-Nya.
Salah satu keutamaan besar i’tikaf adalah sebagai perantara untuk mendapatkan Lailatul Qadr, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri menggunakan i’tikaf sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh keberkahan malam yang sangat istimewa ini.
Waktu pelaksanaan i’tikaf tidaklah dibatasi secara khusus, tetapi diutamakan di bulan Ramadhan, mengikuti teladan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bahkan lebih utama lagi dilakukan di sepuluh malam terakhir Ramadhan, di mana terdapat kemungkinan besar untuk mendapatkan Lailatul Qadr.
Sementara i’tikaf wajib dilakukan sesuai dengan jumlah hari yang telah ditetapkan dalam nadzar, i’tikaf sunnah tidak memiliki jumlah maksimal yang ditetapkan oleh ulama. Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah minimal waktunya. Mayoritas ulama sepakat bahwa i’tikaf minimal dilakukan selama satu hari satu malam, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar ra. Namun, terdapat perbedaan pendapat tentang kapan tepatnya seseorang memulai i’tikaf, apakah sebelum terbenamnya matahari pada malam sepuluh terakhir atau setelah shalat subuh.
Kesimpulannya, i’tikaf adalah ibadah yang mengajarkan kita untuk menjaga konsentrasi dan hubungan yang mendalam dengan Allah, terutama di bulan Ramadhan. Melalui i’tikaf, kita bisa memperoleh keutamaan besar dan mendekatkan diri kepada-Nya, terutama dalam mencari malam Lailatul Qadr yang penuh berkah.





