Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan kesepakatan (ijma’) para ulama. Seseorang tidak diperbolehkan berbuka puasa kecuali jika ada alasan syar’i seperti sakit atau sedang bepergian (safar). Terkadang, seseorang merasakan kelelahan saat menjalankan puasa. Dalam kondisi ini, ia harus bersabar dan memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla. Jika merasa sangat haus di siang hari Ramadan, diperbolehkan menyiram air ke kepala untuk menurunkan suhu tubuh atau berkumur-kumur. Namun, jika kondisi kehausan tersebut membahayakan nyawa, maka ia boleh berbuka dan wajib mengganti puasanya (qadha) di hari lain.
Namun, berbuka puasa karena pekerjaan yang melelahkan tidak dibenarkan dalam syariat. Jika memungkinkan, sebaiknya ia mengambil cuti kerja selama bulan Ramadan, mengurangi beban pekerjaan, atau mencari pekerjaan yang lebih ringan.
Para ulama yang tergabung dalam Komisi Fatwa Arab Saudi menyatakan:
Telah diketahui secara pasti bahwa puasa di bulan Ramadan adalah kewajiban bagi setiap mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal) serta termasuk salah satu rukun Islam. Oleh karena itu, setiap mukallaf harus berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan puasa sebagai bentuk ketaatan kepada perintah Allah Ta’ala, dengan harapan mendapatkan pahala dan takut akan siksa-Nya. Ia tidak boleh mengabaikan akhirat demi urusan dunia.
Jika terjadi konflik antara keduanya, hendaknya ia berupaya mencari solusi agar dapat menjalankan keduanya secara seimbang. Misalnya, ia bisa mengubah jadwal kerjanya menjadi malam hari atau mengambil cuti selama bulan Ramadan meskipun tanpa gaji. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, ia dapat mencari pekerjaan lain yang memungkinkan ia tetap menjalankan kewajiban agama dan mencari nafkah. Jangan mengorbankan akhirat demi urusan dunia, karena cara mencari rezeki tidak hanya terbatas pada pekerjaan yang melelahkan fisik. Insya Allah, akan ada pekerjaan yang halal (mubah) untuk mencari rezeki yang tidak menghalangi pelaksanaan kewajiban kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At-Thalaq: 2-3).
Apabila ia tidak menemukan pekerjaan lain kecuali pekerjaan yang melelahkan, maka ia dianjurkan untuk hijrah ke tempat lain yang lebih memudahkan ia menjalankan agama dan dunianya, serta bekerja sama dengan umat Islam dalam kebaikan dan ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 100).
Firman Allah lainnya:
“Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10).
Jika tidak ada pilihan lain dan ia harus tetap bekerja dengan pekerjaan berat, ia tetap wajib berpuasa sampai merasakan kepayahan. Apabila sudah merasakan kepayahan yang luar biasa, ia boleh makan dan minum secukupnya untuk menghilangkan kelelahan tersebut. Setelah tenaganya pulih, ia harus kembali menahan diri dari makan dan minum hingga matahari terbenam. Ia juga wajib mengganti puasanya (qadha) di hari lain ketika kondisinya lebih memungkinkan.
Fatwa Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’ (10/233-234).
Komisi Fatwa Arab Saudi juga ditanya tentang seorang pekerja di pabrik roti yang merasa sangat kehausan dan kelelahan saat bekerja. Apakah ia diperbolehkan berbuka puasa?
Mereka menjawab: Pekerja tersebut tidak dibolehkan berbuka puasa. Ia harus tetap berpuasa. Pekerjaan membuat roti di siang hari Ramadan bukan termasuk uzur syar’i yang membolehkan berbuka. Oleh karena itu, ia harus bekerja sesuai kemampuannya.
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta’, 10/238)
Wallahu a’lam.





