Puasa di bulan Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mukallaf (baligh dan berakal). Namun, dalam kondisi tertentu seperti haidh, nifas, hamil, atau menyusui, seorang wanita dibolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat menggantinya di hari lain. Pertanyaannya, bagaimana jika seorang istri memiliki hutang puasa Ramadhan tahun lalu karena haidh, namun sebelum sempat meng-qadha, ia hamil dan dokter melarangnya berpuasa? Apa yang harus dilakukan?
Keluasan Waktu untuk Meng-Qadha Puasa
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan keluasan waktu bagi orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena alasan syar’i untuk meng-qadha puasanya sampai datang Ramadhan berikutnya. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 184:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang yang meninggalkan puasa karena alasan syar’i seperti sakit, haidh, atau hamil, diberi kesempatan untuk meng-qadha puasanya di hari lain. Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun ada keluasan waktu, seorang muslim tidak boleh menunda-nunda pelaksanaan qadha tanpa alasan yang syar’i. Hal ini karena bisa saja di akhir-akhir waktu yang diberikan, ia akan menghadapi kondisi yang membuatnya tidak bisa berpuasa sama sekali, seperti hamil, haidh, atau nifas.
Hukum Menunda Qadha Puasa Tanpa Alasan Syar’i
Menunda pelaksanaan qadha puasa hingga masuk Ramadhan berikutnya tanpa alasan syar’i adalah tidak diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada pendapat yang masyhur di kalangan ulama. Sebagai contoh, Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata:
“كان يكون عليَّ الصوم من رمضان فلا أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان”
“Aku punya hutang puasa Ramadhan. Aku tidak bisa meng-qadha-nya kecuali di bulan Sya’ban.”
Perkataan ini menunjukkan bahwa Aisyah berusaha keras untuk tidak menunda qadha puasa hingga mendekati Ramadhan berikutnya. Jika seseorang menunda qadha puasa tanpa alasan syar’i hingga melewati batas waktu yang ditentukan, ia telah berdosa. Meskipun demikian, kewajiban qadha tetap berlaku, dan ia harus melunasinya setelah Ramadhan berikutnya.
Namun, jika penundaan terjadi karena alasan syar’i seperti sakit, hamil, atau menyusui, maka tidak ada dosa baginya. Dalam kondisi ini, ia tetap wajib meng-qadha puasa Ramadhan sebelumnya setelah Ramadhan berikutnya. Sebagian ulama juga mewajibkan pemberian fidyah (memberi makan orang miskin) untuk setiap hari yang ditinggalkan, namun hal ini hanya disunnahkan jika tidak memberatkan. Jika tidak mampu, cukup dengan melaksanakan qadha saja.
Pendapat Ulama tentang Kasus Wanita Hamil
Syaikh Muhammad ash-Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam salah satu fatwanya bahwa jika seorang wanita hamil atau menyusui tidak mampu berpuasa karena kondisi fisiknya yang lemah, maka ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Hutang puasanya tetap menjadi tanggungannya dan harus dibayarkan ketika ada kesempatan. Beliau juga menegaskan bahwa jika penundaan qadha terjadi karena alasan syar’i, seperti hamil atau menyusui, maka tidak ada dosa baginya.
Dalam kasus seorang wanita yang memiliki hutang puasa Ramadhan tahun lalu namun belum sempat meng-qadha karena tiba-tiba hamil dan dilarang berpuasa oleh dokter, maka ia tidak berdosa. Namun, ia tetap wajib meng-qadha puasa tersebut setelah Ramadhan berikutnya ketika kondisinya memungkinkan. Jika memungkinkan, ia dianjurkan untuk melaksanakan qadha puasa di musim dingin, meskipun tidak berurutan, agar lebih mudah.
Langkah-Langkah yang Harus Dilakukan
Bagi seorang istri yang menghadapi situasi seperti ini, berikut adalah langkah-langkah yang harus dilakukan:
- Tetap Berniat untuk Meng-Qadha : Meskipun saat ini ia tidak mampu berpuasa karena hamil, ia harus berniat untuk melunasi hutang puasanya di masa mendatang.
- Mengutamakan Kesehatan : Jika dokter menyatakan bahwa berpuasa dapat membahayakan janin atau dirinya, maka ia wajib mengikuti nasihat medis dan tidak berpuasa.
- Melaksanakan Qadha Setelah Memungkinkan : Ketika kondisi fisiknya sudah membaik, seperti setelah melahirkan dan menyusui, ia harus segera melaksanakan qadha puasa sesuai jumlah hari yang ditinggalkan.
- Memberikan Fidyah (Jika Diperlukan) : Jika ia merasa khawatir tidak akan sempat meng-qadha puasa sebelum Ramadhan berikutnya, ia dapat memberikan fidyah kepada orang miskin sebagai bentuk ketaatan tambahan.
Kesimpulan
Hutang puasa Ramadhan tetap menjadi tanggungan bagi seorang wanita yang tidak berpuasa karena alasan syar’i seperti haidh, hamil, atau menyusui. Ia wajib melunasinya ketika ada kesempatan tanpa menunda-nunda tanpa alasan. Jika penundaan terjadi karena alasan syar’i, maka tidak ada dosa baginya. Namun, ia tetap wajib meng-qadha puasa tersebut setelah Ramadhan berikutnya.
Sebagai seorang muslim, kita harus senantiasa berusaha untuk tidak menunda kewajiban agama, termasuk qadha puasa, agar tidak terjebak dalam kondisi yang membuat kita tidak mampu melunasinya sama sekali. Wallahu ‘alam bish-shawab.





